Aku pernah berkata bahwa jika sahabatku menyukai orang yang sama denganku, maka aku akan merelakan dia untuk sahabatku dan berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu. Tapi setelah aku pikir-pikir kembali, apa itu mungkin? Apakah aku dapat dengan mudah menghilangkan perasaan itu? Apa aku bisa untuk tidak cemburu dan benci kepada sahabatku sendiri?
Semua pertanyaan itu kini selalu terngiang dipikiranku. Aku pun ingat salah satu kalimat sahabatku yang lain. Ketika aku mengatakan bahwa aku akan berusaha melupakan orang yang aku sukai, dia bilang bahwa aku sama sekali tidak dapat melupakan dia. Dan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu benar. Sampai saat ini aku belum dapat melupakan orang yang aku sukai.
Memang sampai saat ini aku tidak pernah mendengar bahwa salah satu sahabatku menyukai orang yang sama denganku. Namun aku memutuskan untuk melupakan perasaan itu karena perasaan itu yang membuat aku menjadi lebih lemah dan cengeng.
Kini orang yang aku suka sudah tidak bersekolah di sekolah yang sama denganku karena ia sudah lulus. Dan aku menggantikan dia menjadi senior di sekolah. Atau lebih tepatnya aku dan teman-teman seangkatanku kini menggantikan kakak kelas kami yang sebelumnya adalah yang tertua di sekolah ini.
Sepertinya saat ini aku harus kembali memperhatikan guru yang sedang mengajar di kelasku. Tiba-tiba aku ditunjuk oleh Bu Susi untuk menjawab soal yang tadi ia bacakan, “Nesha, coba jawab pertanyaan tadi!”
Aku bingung sendiri dan menatap Gino yang duduk sebangku denganku. Gino malah cengengesan dan aku benci melihatnya seperti itu. Aku akhirnya tidak dapat menjawab dengan lancar, “Em-.......... Mmmm........ Memang tadi apa yang Ibu tanyakan?”
Seluruh teman sekelasku langsung tertawa. Bu Susi menggeleng-gelengkan kepala. Aku merasa sangat malu, namun Gino menepuk bahuku. Aku menoleh ke arahnya dan dapat kulihat ia tersenyum kepadaku. Aku pun ikut tersenyum dan tertawa dengan teman-teman.
“Makanya, kalau sedang pelajaran harus fokus, Nesha,” pesan Bu Susi. Aku hanya mengangguk saja dan akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi. Semuanya segera membereskan buku mereka dan bersiap untuk berdoa.
Setelah selesai berdoa, Gino menepuk bahuku lagi ketika aku sudah berada di koridor. “Aku dengar bahwa anak-anak yang lulus akan ke sini. Kamu gak nunggu dia?”
Aku terkejut mendengar informasi itu. Namun aku segera tersenyum dan berkata, “Nunggu dia? Untuk apa? Latihan aja, yuh!”
“Woi, Riri, Dicky, Lukman,” seruku kepada ketiga anggota lain band-ku. Kami baru membuat band saat sedang ulangan kenaikan kelas 8. Saat itu kami secara tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjadi akrab dan membuat band yang kami namakan, “Sky Band”.
“Yo, Nesha. Kita latihan?” tanya Lukman ketika kami berlima sudah berkumpul. Lukman memegang bass karena diantara kami hanya Lukman yang bisa memainkan bass.
“Coba buat lagu aja,” usulku tanpa menjawab pertanyaan Lukman. Aku di “Sky Band” memainkan gitar.
“Buat lagu? Kenapa gak latihan kaya biasa dulu?” kata Riri. Riri memainkan keyboard.
“Ya sudahlah. Latihan saja,” ucapku mengalah. Kami segera duduk di bangku panjang yang berada di luar kelasku. Aku mengeluarkan gitarku. Kami saat ini hanya akan memainkan gitar dan drum saja.
“Lagu apa?” tanya Dicky ketika aku sedang mengecek suara gitarku.
“Aku bawa buku lagu. Ambil saja,” jawabku yang masih asik memainkan gitarku tidak jelas. Gino yang sebagai drumer malah sedang pergi entah kemana.
“Hei, aku bawa makanan nih!” seru Gino yang baru kelihatan batang hidungnya. Ternyata ia mencarikan makan siang untuk kami karena biasanya kalau kami sudah asik berlatih, maka akan lupa soal makan.
Langsung saja, ketika Gino menaruh makanan itu, kami mengambilnya dengan berebut. Jujur saja, perutku sudah protes sejak pelajaran Bu Susi tadi.
Aku, Riri, Lukman, Dicky, dan Gino asik makan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Banyak anak yang memperhatikan kami. Mungkin karena ini baru pertama kalinya kami latihan di sekolah, jadi mereka merasa aneh dengan berkumpulnya kami di sini. Apalagi, “Sky Band” ini belum ada yang mengetahui kecuali kami berlima dan Tuhan tentunya.
Saat sedang asik makan, secara tak sengaja aku melihat ke bawah dan mendapati bahwa dia datang ke sekolah bersama gerombolannya. Dia, orang yang aku suka. Sontak saja aku menghentikan makanku sejenak, namun segera kulanjutkan kembali karena tak mau dipergoki sedang melihat dia. Dia bernama Reza.
Sambil makan, aku dapat melihat bahwa ia berjalan menuju tangga. Dan tak lama kemudian, aku melihat Reza berjalan ke arahku. Jantungku berdetak cepat. Aku ingin lari namun kakiku tak dapat digerakan. Reza dan kawan-kawannya semakin mendekat ke arah aku dan sahabat-sahabatku.
Gino, Riri, Lukman, Dicky menghentikan acara makan mereka ketika melihat gerombolan cowok yang mendatangi kami. Gino melihatku dengan sedikit cemas. Hanya Gino yang tahu bahwa aku menyukai Reza.
Reza semakin mendekat dan sampai akhirnya ia berdiri tepat di depanku. Aku yang sudah selesai makan, membungkus bungkus makanan itu kembali dan berusaha dengan santai membuangnya ke tempat sampah yang tepat berada di belakang Reza.
Ketika aku melewatinya, Reza berdiri mematung dan tak mengatakan apa-apa. Setelah membuangnya, aku kembali dan mengambil gitarku lalu memainkannya. Memainkan lagu yang sekarang sedang aku sukai.
Tiba-tiba, Reza menarik daguku dan membuatku menatap mata onyx-nya yang indah. Reza seperti sedang mencari-cari sesuatu di mataku yang berwarna coklat ini. Entah apa yang ia cari, namun apa yang ia lakukan membuat jantungku berdetak semakin kencang. Mungkin jika ini dilanjutkan, aku bisa jantungan.
Untungnya itu tak bertahan lama. Reza memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku melihat ia dengan tatapan bingung. Reza terlihat menarik nafas panjang dan berkata, “Nesha, apa kau mau jadi pacarku?”
Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Reza barusan. Apa aku salah dengar? Hal yang sangat tidak mungkin bagiku ternyata terjadi sekarang. Aku menatap Reza tak percaya. Seakan mengetahui bahwa aku masih belum percaya dengan apa yang ia katakan, Reza meyakinkanku, “Nesha, aku menyukaimu dari dulu. Sikapmu padaku sangat dingin sehingga itu yang membuatku tertarik padamu.”
Aku akhirnya dapat mengontrol diriku dan menghela nafas. “Ka Reza, apa yang kakak tidak salah? Banyak cewek yang lebih cantik daripada aku di luar sana dan juga.........” Aku menggantungkan kalimatku.
“Dan juga apa? Aku tidak mengutamakan kecantikan, yang aku lihat itu adalah hatimu. Apa kamu gak percaya sama aku, Nesha?” tanya Reza dengan lembut. Bahkan juga menatapku dengan lembut. Aku menutup mataku sejenak lalu membukanya kembali.
“Ka, bisa tolong berikan aku waktu untuk memikirkannya? Bagiku ini terlalu cepat. Aku tidak dapat memutuskannya sekarang,” ucapku. Dapat kulihat bahwa Reza sedikit menyesal, namun ia segera berkata, “ Baiklah. Aku mengerti. 2 hari lagi aku akan menagih jawabanmu.”
Setelah mengatakan itu, Reza dan kawan-kawannya pergi meninggalkan kami. Teman-teman seangkatanku menatapku tak percaya. Reza adalah cowok yang populer, ia disukai oleh hampir seluruh cewek di sekolah.
Aku mendengar bisik-bisik sekelompok cewek yang mengatakan, “Bagaimana Ka Reza menembak dia? Aku lebih baik darinya.” Dan ada juga yang mengatakan, “Betapa beruntungnya Nesha. Ia ditembak oleh Ka Reza. Kalau aku jadi dia, Ka Reza akan langsung aku terima.”
“Maaf, aku pulang dulu,” ucapku sambil membawa tas dan gitarku. Gino, Lukman, Dikcy, dan Riri hanya mengangguk mengerti.
Aku turun dari tangga dengan wajah tertunduk. Bukan karena aku malu, melainkan karena aku masih memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Awalnya aku kira itu adalah Gino, namun aku salah. Orang yang menepuk bahuku adalah Ryan, orang yang sangat menyebalkan.
Ryan menyeringai dan menjulurkan lidahnya kepadaku saat aku menatapnya. Aku yang tadinya masih bingung memikirkan hal yang tadi langsung mengomel kepada Ryan, “Heh, Ryan. Ngapain lo?”
Ryan nyengar-nyegir gak jelas dan sebelum ada barang yang melayang ke kepalanya, ia langsung kabur. Aku mendengus kesal. Baru aku sadari bahwa gara-gara Ryan, aku tadi beberapa saat dapat melupakan kejadian itu.
Aku kembali berjalan ke luar sekolah. Saat sampai di gerbang sekolah, dapat aku lihat bahwa Reza sedang berdiri di gerbang sekolah sendirian. Reza melihatku yang sedang berjalan ke arahnya. Tidak, lebih tepatnya berjalan ke arah gerbang sekolah karena aku memang mau pulang, bukan mau menemui Reza.
“Aku antar pulang?” tawar Reza dengan memberikan senyumnya padaku. Aku menatap datar dan segera menggelengkan kepala, “Naik motor? Aku tidak suka orang yang melanggar peraturan berkendara.”
“Baiklah kalau begitu. Boleh aku temani kau naik angkutan umum?” Sepertinya Reza belum menyerah. Terpaksa aku mengiyakan tawarannya itu. Walau dalam hati aku merasa senang sekali karena Reza memperhatikanku, namun aku tak mau terlihat seperti itu di depannya.
Kami berdua pun berjalan bersama dan menunggu angkutan umum. Aku merasa sedikit canggung karena belum pernah jalan bersama dengan cowok kecuali Lukman, Gino, Dikcy, Ayahku dan saudara laki-lakiku.
Yah walaupun kami tidak bergandengan tangan (aku pun sama sekali tak mau walaupun kami memang berpacaran), aku dapat mengartikan tatapan anak-anak yang melihat kami jalan bersama. Mereka menganggap bahwa aku dan Reza sedang berpacaran.
Aku dan Reza menunggu angkutan umum. Akhirnya ada angkutan umum juga dan kami segera naik. Reza naik lebih dahulu lalu setelahnya aku.
Ketika angkutan sudah jalan, Reza mengajakku dalam pembicaraan santai. Aku menikmati jalannya pembicaraan ini. Dan aku baru mengetahui bahwa Reza juga sama menyukai anime seperti aku. Cara bicaranya pun entah kenapa aku suka.
Tak terasa bahwa sudah sampai di depan rumahku. Aku pun segera meminta sopir untuk berhenti lalu turun dan menyerahkan uang.
Reza masih berada di dalam angkutan karena rumah kami searah. Jarak antara rumahku dan rumah Reza sekitar 200 m.
Aku segera masuk ke dalam rumah dan menjalankan rutinitasku setelah pulang sekolah, yaitu makan, tidur, dan membaca novel/buku/komik.
---***---
Sebelum matahari terbit, aku sudah bangun dari tidurku yang nyenyak. Seperti biasa, aku segera mengambil HP-ku dan melihat jam berapa ini. Saat aku lihat layar HP-ku, aku melihat ada satu sms dari nomor yang tidak aku kenal. Aku buka saja sms itu dan isinya,
Selamat Pagi, Nesha. Sudah bangun bukan?
Berangkat sekolah bareng ya –Reza-
Aku menatap layar HP-ku, langsung saja aku mengetik balasan dengan cepat.
Gak usah, ka. Lagian juga sekolah kita gak searah
Setelah mengetik itu, aku segera bangkit dari tempat tidurku dan menaruh HP-ku di meja belajar. Saat akan keluar kamar, aku melihat bahwa HP-ku bergetar. Aku langsung mengambilnya dan membuka sms balasan dari Reza.
Hmmm...... Klo aku memaksa?
Aku merasa senang bahwa ternyata Reza memperhatikanku. Aku akhirnya mengikuti kemauan Reza.
Terserah kakak saja.
Tak disangka setelah beberapa detik aku mengirim balasan itu, langsung ada balasan dari Reza. Dia memang punya kecepatan dalam mengetik atau apa sih? Padahal dulu saat aku mengiriminya sms ngejawabnya laaamaaaa banget.
Walaupun senang, tapi karena biasanya mood-ku tidak baik ketika baru bangun tidur, aku segera saja pergi mandi dan menjalankan rutinitas pagiku.
Orang tuaku sedang sibuk kerja di luar negeri. Aku adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Kakakku sudah kuliah di Australia. Jadi, di rumah yang cukup besar ini, aku tinggal sendirian. Walaupun jika pagi sampai sore masih ada pembantu yang bekerja di sini untuk bersih-bersih dan memasak.
Kalau soal masalah masak memasak, jangan ditanya lagi, aku saaaangaaattt buruk dalam hal masak memasak. Aku pernah membuat nasi goreng, dan itu pun rasanya hancur bagiku. Gak asin, tapi terpaksa aku makan karena saat itu sedang tak ada makanan yang lain.
Mandi, makan sudah. Tinggal berangkat. Walaupun masih pukul 05:45, aku memilih untuk langsung berangkat dengan jalan kaki saja karena aku menghindari berangkat bersama Reza.
Saat aku keluar dan mengunci rumah lalu menaruh kunci di tempat biasa, aku tak melihat batang hidung Reza. Aku dapat bernafas lega. Segera saja aku berangkat ke sekolah.
-Sekolah-
Saat baru sampai di sekolah, dapat aku lihat koridor kelas 3 sudah cukup ramai. Padahal sekarang masih sangat pagi. Aku menatap heran ke atas dan banyak yang menatapku dengan tatapan penuh tanya dan sebagainya.
Aku menaiki tangga dan ketika sudah sampai di ujung tangga, anak-anak cewek langsung mengerubungi dan menyerbuku dengan berbagai pertanyaan tentang hubunganku dengan Reza. Aku menjawab dengan santai, namun lama-kelamaan aku juga capek meladeni mereka. Aku berusaha mencari jalan keluar, sayangnya hal itu mustahil.
Sepertinya keberuntungan berpihak padaku saat ini. Entah ada angin apa, Ryan berangkat pagi dan menyelamatkanku. Mereka sempat mengejar kami. Untungnya kami berhasil lolos. Untuk sementara, kami berada di atap sekolah karena itu adalah tempat yang paling aman sekarang.
Nafasku tak beraturan karena tadi berlari-lari. Ryan tak terlihat sepertiku, dia masih saja memasang tampang datarnya. Setelah dapat bernafas teratur lagi, aku memutuskan untuk berterimakasih. “Terima-”
Sebelum aku menyelesaikan kata-kata itu, tiba-tiba Ryan memelukku dengan erat. Aku sontak saja memberontak karena sikap Ryan yang aneh ini. Ryan tidak mau melepaskanku, malah semakin mempererat pelukannya.
“Ryan!! Lepaskan aku!!” seruku, namun Ryan sepertinya tidak menghiraukan perkataanku. Akhirnya aku diam saja karena percuma memberontak. Ryan bahkan tak mendengarkanku.
Kami tetap dalam posisi seperti ini selama 10 menit. Selama itu, aku merasa ada perasaan yang hinggap di dadaku. Perasaan senang? Aku tak tahu.
Ryan akhirnya melapaskanku. Ia memegang kedua bahuku dan menatapku tajam. Tajam dan perlahan-lahan melembut. “Apa kau akan menerimanya?”
Mataku terbelalak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ryan. Aku berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang Ryan tanyakan padaku tadi. Entah apa yang membuatku seperti ini, aku langsung lari dan pergi ke kamar mandi.
Di kamar mandi, aku dapat merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Bahkan lebih cepat daripada saat Reza menembakku.
Saat aku masih berada di dalam kamar mandi, aku dapat mendengar suara cewek yang dari nada bicaranya ia terlihat menyesal. Sepertinya aku mengenali suara cewek itu.
“Ka Reza..... Kenapa? Kenapa kau malah memilih dia? Sahabatku sendiri? Padahal, aku sudah menunggumu sangat lama.”
Itu suara Riri. Apa sebenarnya Riri menyukai Reza juga? Sama sepertiku? Yang tahu bahwa aku sebenarnya memang menyukai Reza hanya Gino dan Ryan saja. Aku kembali mengingat pernyataanku dulu kepada salah satu teman sekelasku. Pernyataan yang mengatakan bahwa jika sahabatku menyukai orang yang sama denganku, maka aku akan merelakan dia untuk sahabatku dan berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu.
Jika benar seperti itu, aku memang harus melupakannya. Tapi, sekali lagi, apa aku dapat melakukannya? Apa aku dapat melupakan Reza? Apa aku dapat menghapus Reza dari ingatanku?
Tak terasa bel masuk berbunyi. Aku segera keluar dari kamar mandi dan pergi menuju kelasku.
-Istirahat-
Atap sekolah. Itulah yang menjadi tempat tujuanku saat istirahat ini. Aku ingin melepaskan semua masalahku dulu dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang aku anggap konyol tentang aku dengan Reza.
Di atap sekolah, aku berdiri menatap langit dan merasakan hembusan angin yang menerpa wajah serta rambutku. Kumasukan tanganku ke dalam rok. Aku membiarkan angin membawa sejenak semua masalahku.
Dapat kudengar suara pintu terbuka. Aku berbalik untuk mengetahui siapa yang pergi ke atas saat istirahat. Ternyata dia Ryan. Aku merasa bahwa kali ini Ryan terlihat lebih.... cool?
Ryan tersenyum kepadaku. Pipiku bersemu merah. Aku pun tak tahu mengapa aku bisa seperti ini di depan Ryan.
“Tadi pagi.... Terima kasih,” ucapku pada Ryan yang masih tersenyum padaku. Ryan perlahan berjalan ke arahku.
“Untuk apa?” tanya Ryan ketika ia sudah berada di sampingku. Ia membawa jaket berwarna hitam yang biasa ia pakai.
“Menyelamatkanku dari mereka,” jawabku. Aku berjalan dan membelakangi Ryan. Angin berhembus kencang dan itu membuatku kedinginan. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang Ryan kenakan padaku. Ternyata ia memberiku jaketnya.
“Kau kedinginan,” ujar Ryan yang langsung memelukku dari belakang. Aku merasa canggung dengan sikap Ryan sekarang. Jika ada yang pergi ke atap sekarang, maka dia akan mengira bahwa kami sedang berpacaran.
“Ryan, bisa lepaskan aku?” pintaku pada Ryan. Ryan menuruti perkataanku, ia melepaskan pelukannya. Ryan memutar tubuhku sehingga aku dan ia behadapan. Jarak diantara kami tak lebih dari 30 cm. Aku dapat merasakan wangi tubuh Ryan yang bisa dikatakan cukup memabukan bagiku.
“Ryan, sebenarnya apa maksudmu melakukan itu?” tanyaku. Ryan terdiam membisu. Aku masih menunggu jawaban Ryan. Namun setelah sekian menit Ryan tidak menjawab pertanyaanku sehingga aku memutuskan untuk kembali kelas saja. Selain itu juga karena bel istirahat selesai sudah berbunyi.
-Pulang sekolah-
“Gino, aku pulang duluan ya,” ucapku pada Gino yang sedang piket. Saat Gino akan menjawab, aku sudah melambaikan tanganku padanya dan keluar kelas.
Sepertinya kali ini mereka tidak mengejarku lagi. Aku bersyukur karena tak perlu berlari-lari lagi.
Di pintu gerbang, aku bertemu dengan salah satu teman dekat Reza. Ia bernama Kevin. “Nesha, bisa kita bicara sambil aku mengantarmu pulang?”
“Hmm.. Baiklah.” Kevin mengantarku menuju mobilnya dan membukakan pintu untukku. Aku masuk ke dalam mobil. Kevin masuk ke dalam mobil dan segera menginjak pedal gas.
“Nesha, apa kau akan menerima Reza?” tanya Kevin sambil menyetir.
“Entahlah. Aku belum memutuskannya,” jawabku.
“Aku beri tahu kau satu hal. Sejak Reza melihatmu untuk pertama kali, saat kami bertemu denganmu di sebuah gang, ia terkejut melihat ada seorang siswi yang dapat menghabisi preman-preman.”
“Lalu?”
“Sejak saat itu, dia mulai tertarik padamu.”
“Reza belum mengenalku dengan baik. Aku rasa dia terlalu bertindak gegabah.”
“Memang dia terlalu gegabah. Namun, selama ia menjalin hubungan dengan gadis, ia sama sekali belum pernah bersikap seperti kepadamu.”
“Oh begitu rupanya. Sepertinya aku sudah menemukan jawabanku untuk Reza karena informasimu itu. Terima kasih tumpangannya,” ucapku ketika mobil Kevin sudah berada di depan rumahku. Aku segera turun dan masuk ke dalam rumah.
-Keesokan harinya-
Hari ini bagi kebanyakan orang adalah hari yang biasa saja. Namun bagiku, hari ini adalah hari yang menentukan apakah aku akan menjaga kata-kataku ataukah melanggarnya.
Saat pulang sekolah, Reza dan Kevin datang ke sekolah. Aku dan anggota band yang lain sedang menunggunya di tempat yang sama seperti waktu itu. Aku tahu Riri merasa khawatir walaupun dia berusaha menyembunyikannya.
Reza dan Kevin datang menghampiri kami. Ketika Reza dan Kevin sudah berada di depanku, aku segera berdiri dan berhadapan dengan Reza.
“Nesha-”
“Aku mengerti kemauanmu. Tapi kau terlalu bertindak gegabah. Kakak tidak mengenalku dan tidak berusaha mengenalku. Walaupun kakak sempat menyuruh Kevin untuk berbohong kepadaku, tapi itu tidak berhasil. Aku sudah mengenal Kevin sejak kecil. Aku dapat melihat bahwa mata Kevin berbohong saat itu. Dan jawabannya............ Maaf, aku tidak bisa. Ada seorang gadis yang menunggumu sejak lama. Dia ada disekitar sini. Sekali lagi, maafkan aku.”
Setelah berkata panjang kali lebar sama dengan luas, aku membungkukan badanku dan segera pergi ke atap sekolah. Dicky, Lukman, Gino, dan Riri menatapku tak percaya.
-Atap sekolah-
Aku menarik nafas panjang. “Reza............ Reza.........” Air mataku mulai turun. Ternyata benar, aku tak dapat dengan mudah melupakan Reza. Aku merasa sedih karena keputusanku ini, namun kulakukan demi Riri.
“Aku benci melihatmu menangis, Nesha.” Aku langsung berbalik dan melihat bahwa Ryan menyodorkan sapu tangannya padaku. Aku masih terdiam, sehingga Ryan menghapus air mataku dengan sapu tangannya.
“Tapi untuk kali ini saja, menangislah sepuasnya.” Aku langsung memeluk Ryan dan menangis di dadanya. Ryan membelai rambutku dengan lembut.
Setelah beberapa saat, aku melepaskan Ryan dan menghapus air mataku sediri. “Kau tahu? Sebenarnya aku sedih melihatmu seperti ini.”
“Ryan...... Aku cengeng, bukan?” ucapku berbalik membelakangi Ryan.
“Iya, kau memang cengeng, lemah, dan bodoh. Namun kau berusaha bersikap bahwa kau ini kuat dan tidak cengeng.” Ucapan Ryan barusan membuatku terkesima, namun itu tak bertahan lama setelah ia mengejekku.
“Ditambah lagi, kau itu jelek, nyebelin, sok tahu, sok pinter, sok kuat, dan sebagainya,” ucap Ryan sambil menjulurkan lidahnnya kepadaku dan berlari menjauhiku.
Sontak saja, aku mengejarnya. Sebelum Ryan sempat mencapai gagang pintu, tubuhnya sudah kutarik. Aku harus bersyukur karena memiliki kekuatan ini. Tapi kok, rasanya Ryan malah semakin mendekatiku sih? Dan juga ekspresinya itu seperti kaget.
Aku baru menyadari bahwa Ryan akan jatuh menimpaku, namun terlambat, tubuh Ryan sudah menindihku.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Ternyata Ryan tidak benar-benar menindihiku, ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya. Ryan segera berdiri dan membersihkan debu yang menempel di bajunya.
“Heh, kau ini gimana? Gara-gara kamu nih, Nes. Bajuku kotor kan,” teriak Ryan. Eh bukannya minta maf, dia malah marah-marah lagi.
“Apaan coba? Kamu yang harusnya minta maaf ke aku, tau gak? Sakit tahu.”
“Leh???? Siapa yang narik duluan coba? Salahmu sendirilah!!”
“Kenapa kau selalu bersikap seperti itu padaku?” tanyaku dengan terisak. Kali ini, aku baru menyadari, bukan Reza yang aku sukai sebenarnya. Ryan-lah yang aku suka. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, namun saat Ryan memelukku aku merasa sangat nyaman dan tenang.
“Maksudmu?”
“Aku.........” aku tak dapat melanjutkan kata-kataku dan menangis. Sekali lagi, Ryan memelukku, berusaha untuk menenangkanku.
“Sudah aku katakan sebelumnya. Aku benci melihatmu menangis!” ucap Ryan lembut namun aku masih dapat menemukan nada ketegasan di sana. Aku memandang Ryan dan ia balik memandangku.
Ryan melepaskan pelukannya. Ia mengangkat tangan kirinya dan mengarahkan dua jarinya itu ke arahku. Lebih tepatnya ke dahiku, dan ia menyentuhkan jarinya ke dahiku.
Perlakuannya ini mengingatkanku pada salah satu tokoh yang ada di salah satu anime kesukaanku. Tapi aku lupa anime apa itu.
Ryan berbalik dan berjalan menjauhiku. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, ia menoleh ke belakang. Kami berdua sama-sama tersenyum.
“Nesha, jangan sembunyikan perasaanmu. Dan........... Aku menyukaimu,” ucap Ryan sebelum ia turun. Aku terdiam mendengar perkataan terakhir Ryan tadi. Apa dia tadi mengatakan bahwa dia menyukaiku?
Aku tersenyum senang dan segera berlari mengejar Ryan. Sekolah sudah sepi sekarang. Ryan masih berada di tangga, jadi aku langsung menarik tangannya dan berkata, “Aku menyukaimu juga.”
Ryan tersenyum kepadaku dan mengacak-acak rambutku pelan. “Aku antar kau pulang.” Aku hanya mengangguk. Kami berdua jalan berdua sambil bergandengan tangan.
-The End-