Jumat, 02 September 2011

Dark and Light ( IV )


Tok tok tok

“Masuk,” ucap Robin dengan nada malas dari dalam kamar. Clara membuka pintu lalu masuk dan setelah itu menutupnya kembali. Robin sedang berbaring terlentang di tempat tidurnya yang berukuran queen size itu sambil memejamkan matanya. Clara berjalan mendekati Robin dan duduk di pinggir tempat tidur itu.

“Robin,” Clara mulai membuka pembicaraan. Robin masih terdiam menunggu apa yang akan Clara katakan namun tak ada sepatah kata pun yang keluar.

“Ada apa?” tanya Robin akhirnya. Clara memejamkan matanya sejenak lalu membukanya kembali, “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Robin.”

“Sebenarnya ada apa?” Clara menatap wajah Robin. Dengan perlahan Robin membuka matanya, terdiam sejenak dan menghela napas lalu berkata, “Aku mengingat kejadian saat misi terakhirku.”

“Kalau yang kau pikirkan itu kegagalanmu dalam menjalankan misi itu, tolong jangan dipikirkan lagi. Ryu saja memakluminya karena kami memang tahu bahwa kondisi kesehatanmu sedang tidak baik, Robin,” tutur Clara cukup panjang.

Robin menggelengkan kepalanya lalu memposisikan tubuhnya duduk di samping Clara. “Lalu apa?” tanya Clara lembut karena Robin sudah ia anggap saudaranya sendiri.

“Rei bertambah kuat. Saat aku bertarung dengannya malam itu, kekuatannya meningkat drastis. Karena itu aku menggunakan kekuatanku tidak seperti biasanya. Rei juga sudah menggunakan Lin. Aku masih tak dapat melukai Rei sehingga yang aku lakukan hanyalah bertahan. Entah mengapa, pertahanku saat itu menurun drastis. Sehingga aku harus membutuhkan bantuan angin untuk menangkis serangan Rei.”

Robin menceritakan apa yang ia rasakan saat bertarung dengan Rei pada Clara. Mata Robin terlihat sayu dan wajahnya pucat. Mata Robin berwarna coklat kehitaman sekarang, dan itu menandakan bahwa ia sedang tidak bersemangat, jika matanya berubah warna menjadi hitam pekat maka Robin sedang bersemangat atau keinginannya untuk melakukan sesuatu sangatlah besar.

Robin memegang perut bagian kiri dan meringis kesakitan. Robin tak ingin membuat orang-orang mengkhawatirkannya. Untungnya Clara tidak melihat perut bagian kiri Robin sekarang. Lukanya yang sudah hampir tertutup kembali terbuka karena Robin tadi terlalu banyak bergerak.

Ternyata itu yang membuat Robin bersikap seperti ini, batin Clara. “Apa perlu aku tanyakan pada Ryu?’ tanya Clara kepada Robin yang sedang menatap lantai dengan pandangan kosong.

“Tidak, tak perlu,” ucap Robin pelan. “Aku tak apa,” Robin berusaha tersenyum membalas tatapan Clara. Namun karena Clara adalah orang yang dekat dengan Robin setelah Ryu, ia tahu bahwa Robin sedang berbohong. Walaupun Robin dapat dengan mudah menyembunyikan kebohongannya, Clara mengetahuinya.

“Jangan siksa dirimu,” Clara menatap mata Robin yang masih terlihat sayu. Perlahan-lahan mata itu berubah menjadi hitam. “Ada apa?” Clara mulai khawatir dengan Robin. Dan ternyata Robin memandang arah pintu. Clara yang mengetahui itu langsung tahu apa yang Robin maksudkan, dan hanya tinggal menghitung saja.

3, 2, 1, batin Clara dan pada hitungan ke satu,

Braaakk.....

“ROOBIIINNN..........” Trian masuk ke dalam kamar Robin dan langsung berusaha memeluk Robin namun Robin telah berdiri sehingga Trian terjatuh di tempat tidur milik Robin. Tak lama kemudian Seth muncul dengan tampang coolnya. Tampaknya mereka berdua sudah benar-benar sembuh.

“Apa yang kau lakukan?” ucap Robin dingin pada Trian. Wajah Trian yang awalnya cerah layaknya matahari langsung berubah murung seperti badai yang tiba-tiba datang di saat matahari sedang bersinar terang. Itu karena Trian melihat mata Robin yang sedang berubah menjadi warna hitam.

“Seth, bisa kau singkirkan dia?” kata Robin memandang Seth dengan datar. Seth menghela napasnya sejenak lalu langsung menghampiri Trian dan menariknya keluar.

Clara menutup pintu kamar Robin setelah mereka berdua keluar. Mata Robin kembali normal. Terkadang Robin memang tidak suka dengan sikap Trian. Dan satu-satunya cara agar Trian menjauh darinya adalah Robin harus menunjukan padanya bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.

“Terima kasih,” ucap Robin ketika ia sudah duduk di pinggir tempat tidurnya kembali. Clara mulai memahami keadaan Robin sekarang dan berkata, “Tak usah dipikirkan.”

Suasana kembali hening. Clara yang tadi masih berdiri pun duduk di samping Robin, “Kenapa tadi kamu ingin ikut, Robin?”

“Aku ingin menguji sesuatu,” jawab Robin misterius. Clara tak begitu mengerti dengan apa yang Robin maksud dengan sesuatu dan menatap mata Robin. Robin balas menatap mata Clara yang berwarna emerald.

“Menguji kekuatanku,” kata Robin setelah berhasil membaca apa yang Clara pikirkan. Clara terkejut bahwa Robin dapat membaca pikirannya lewat kontak mata. Mulai saat itu ia tahu bahwa Robin dapat dengan mudah membaca pikiran orang hanya dengan kontak mata saja.

“Bukannya kamu dapat mengujinya dengan anggota yang lainnya?” Clara bertanya pada Robin yang menutup matanya.

“Rasanya berbeda,” ujar Robin. Clara mengerti apa maksud Robin. Saat menjalankan misi para anggota Dark Organozation memang lebih kejam dari biasanya dan nafsu membunuhnya sangatlah besar.

Hening beberapa saat sampai jam di kamar Robin berbunyi. Pukul 09.00 p.m, saatnya Alex dan George pergi untuk menjalankan misi. Robin dan Clara masih terdiam di kamar.

Tok tok tok

“Robin, Clara, Alex dan George akan pergi dan makan malam akan segera dimulai,” seru Viona. Clara beranjak untuk pergi ke ruang makan. Saat sudah membuka pintu, Clara melihat Robin yang masih duduk terdiam. “Mau sampai kapan kau seperti itu? Alex dan George akan pergi menjalankan misi dan makan malam akan dimulai. Apa kau tidak ingin makan?”

Robin menatap Clara sejenak lalu ia berbaring dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Clara menghela napas melihat sikap Robin yang seperti itu. Namun ia memaklumi karena saat rapat tadi ia sempat melihat Robin seperti menahan sakit.
****

[berlanjut ke Dark and Light ( V )]

Kamis, 25 Agustus 2011

Sahabat atau Cinta

Aku pernah berkata bahwa jika sahabatku menyukai orang yang sama denganku, maka aku akan merelakan dia untuk sahabatku dan berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu. Tapi setelah aku pikir-pikir kembali, apa itu mungkin? Apakah aku dapat dengan mudah menghilangkan perasaan itu? Apa aku bisa untuk tidak cemburu dan benci kepada sahabatku sendiri?

Semua pertanyaan itu kini selalu terngiang dipikiranku. Aku pun ingat salah satu kalimat sahabatku yang lain. Ketika aku mengatakan bahwa aku akan berusaha melupakan orang yang aku sukai, dia bilang bahwa aku sama sekali tidak dapat melupakan dia. Dan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu benar. Sampai saat ini aku belum dapat melupakan orang yang aku sukai.

Memang sampai saat ini aku tidak pernah mendengar bahwa salah satu sahabatku menyukai orang yang sama denganku. Namun aku memutuskan untuk melupakan perasaan itu karena perasaan itu yang membuat aku menjadi lebih lemah dan cengeng.

Kini orang yang aku suka sudah tidak bersekolah di sekolah yang sama denganku karena ia sudah lulus. Dan aku menggantikan dia menjadi senior di sekolah. Atau lebih tepatnya aku dan teman-teman seangkatanku kini menggantikan kakak kelas kami yang sebelumnya adalah yang tertua di sekolah ini.

Sepertinya saat ini aku harus kembali memperhatikan guru yang sedang mengajar di kelasku. Tiba-tiba aku ditunjuk oleh Bu Susi untuk menjawab soal yang tadi ia bacakan, “Nesha, coba jawab pertanyaan tadi!”

Aku bingung sendiri dan menatap Gino yang duduk sebangku denganku. Gino malah cengengesan dan aku benci melihatnya seperti itu. Aku akhirnya tidak dapat menjawab dengan lancar, “Em-.......... Mmmm........ Memang tadi apa yang Ibu tanyakan?”

Seluruh teman sekelasku langsung tertawa. Bu Susi menggeleng-gelengkan kepala. Aku merasa sangat malu, namun Gino menepuk bahuku. Aku menoleh ke arahnya dan dapat kulihat ia tersenyum kepadaku. Aku pun ikut tersenyum dan tertawa dengan teman-teman.

“Makanya, kalau sedang pelajaran harus fokus, Nesha,” pesan Bu Susi. Aku hanya mengangguk saja dan akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi. Semuanya segera membereskan buku mereka dan bersiap untuk berdoa.

Setelah selesai berdoa, Gino menepuk bahuku lagi ketika aku sudah berada di koridor. “Aku dengar bahwa anak-anak yang lulus akan ke sini. Kamu gak nunggu dia?”

Aku terkejut mendengar informasi itu. Namun aku segera tersenyum dan berkata, “Nunggu dia? Untuk apa? Latihan aja, yuh!”

“Woi, Riri, Dicky, Lukman,” seruku kepada ketiga anggota lain band-ku. Kami baru membuat band saat sedang ulangan kenaikan kelas 8. Saat itu kami secara tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjadi akrab dan membuat band yang kami namakan, “Sky Band”.

“Yo, Nesha. Kita latihan?” tanya Lukman ketika kami berlima sudah berkumpul. Lukman memegang bass karena diantara kami hanya Lukman yang bisa memainkan bass.

“Coba buat lagu aja,” usulku tanpa menjawab pertanyaan Lukman. Aku di “Sky Band” memainkan gitar.

“Buat lagu? Kenapa gak latihan kaya biasa dulu?” kata Riri. Riri memainkan keyboard.

“Ya sudahlah. Latihan saja,” ucapku mengalah. Kami segera duduk di bangku panjang yang berada di luar kelasku. Aku mengeluarkan gitarku. Kami saat ini hanya akan memainkan gitar dan drum saja.

“Lagu apa?” tanya Dicky ketika aku sedang mengecek suara gitarku.

“Aku bawa buku lagu. Ambil saja,” jawabku yang masih asik memainkan gitarku tidak jelas. Gino yang sebagai drumer malah sedang pergi entah kemana.

“Hei, aku bawa makanan nih!” seru Gino yang baru kelihatan batang hidungnya. Ternyata ia mencarikan makan siang untuk kami karena biasanya kalau kami sudah asik berlatih, maka akan lupa soal makan.

Langsung saja, ketika Gino menaruh makanan itu, kami mengambilnya dengan berebut. Jujur saja, perutku sudah protes sejak pelajaran Bu Susi tadi.

Aku, Riri, Lukman, Dicky, dan Gino asik makan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Banyak anak yang memperhatikan kami. Mungkin karena ini baru pertama kalinya kami latihan di sekolah, jadi mereka merasa aneh dengan berkumpulnya kami di sini. Apalagi, “Sky Band” ini belum ada yang mengetahui kecuali kami berlima dan Tuhan tentunya.

Saat sedang asik makan, secara tak sengaja aku melihat ke bawah dan mendapati bahwa dia datang ke sekolah bersama gerombolannya. Dia, orang yang aku suka. Sontak saja aku menghentikan makanku sejenak, namun segera kulanjutkan kembali karena tak mau dipergoki sedang melihat dia. Dia bernama Reza.

Sambil makan, aku dapat melihat bahwa ia berjalan menuju tangga. Dan tak lama kemudian, aku melihat Reza berjalan ke arahku. Jantungku berdetak cepat. Aku ingin lari namun kakiku tak dapat digerakan. Reza dan kawan-kawannya semakin mendekat ke arah aku dan sahabat-sahabatku.

Gino, Riri, Lukman, Dicky menghentikan acara makan mereka ketika melihat gerombolan cowok yang mendatangi kami. Gino melihatku dengan sedikit cemas. Hanya Gino yang tahu bahwa aku menyukai Reza.

Reza semakin mendekat dan sampai akhirnya ia berdiri tepat di depanku. Aku yang sudah selesai makan, membungkus bungkus makanan itu kembali dan berusaha dengan santai membuangnya ke tempat sampah yang tepat berada di belakang Reza.

Ketika aku melewatinya, Reza berdiri mematung dan tak mengatakan apa-apa. Setelah membuangnya, aku kembali dan mengambil gitarku lalu memainkannya. Memainkan lagu yang sekarang sedang aku sukai.

Tiba-tiba, Reza menarik daguku dan membuatku menatap mata onyx-nya yang indah. Reza seperti sedang mencari-cari sesuatu di mataku yang berwarna coklat ini. Entah apa yang ia cari, namun apa yang ia lakukan membuat jantungku berdetak semakin kencang. Mungkin jika ini dilanjutkan, aku bisa jantungan.

Untungnya itu tak bertahan lama. Reza memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku melihat ia dengan tatapan bingung. Reza terlihat menarik nafas panjang dan berkata, “Nesha, apa kau mau jadi pacarku?”

Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Reza barusan. Apa aku salah dengar? Hal yang sangat tidak mungkin bagiku ternyata terjadi sekarang. Aku menatap Reza tak percaya. Seakan mengetahui bahwa aku masih belum percaya dengan apa yang ia katakan, Reza meyakinkanku, “Nesha, aku menyukaimu dari dulu. Sikapmu padaku sangat dingin sehingga itu yang membuatku tertarik padamu.”

Aku akhirnya dapat mengontrol diriku dan menghela nafas. “Ka Reza, apa yang kakak tidak salah? Banyak cewek yang lebih cantik daripada aku di luar sana dan juga.........” Aku menggantungkan kalimatku.

“Dan juga apa? Aku tidak mengutamakan kecantikan, yang aku lihat itu adalah hatimu. Apa kamu gak percaya sama aku, Nesha?” tanya Reza dengan lembut. Bahkan juga menatapku dengan lembut. Aku menutup mataku sejenak lalu membukanya kembali.

“Ka, bisa tolong berikan aku waktu untuk memikirkannya? Bagiku ini terlalu cepat. Aku tidak dapat memutuskannya sekarang,” ucapku. Dapat kulihat bahwa Reza sedikit menyesal, namun ia segera berkata, “ Baiklah. Aku mengerti. 2 hari lagi aku akan menagih jawabanmu.”

Setelah mengatakan itu, Reza dan kawan-kawannya pergi meninggalkan kami. Teman-teman seangkatanku menatapku tak percaya. Reza adalah cowok yang populer, ia disukai oleh hampir seluruh cewek di sekolah.

Aku mendengar bisik-bisik sekelompok cewek yang mengatakan, “Bagaimana Ka Reza menembak dia? Aku lebih baik darinya.” Dan ada juga yang mengatakan, “Betapa beruntungnya Nesha. Ia ditembak oleh Ka Reza. Kalau aku jadi dia, Ka Reza akan langsung aku terima.”

“Maaf, aku pulang dulu,” ucapku sambil membawa tas dan gitarku. Gino, Lukman, Dikcy, dan Riri hanya mengangguk mengerti.

Aku turun dari tangga dengan wajah tertunduk. Bukan karena aku malu, melainkan karena aku masih memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Awalnya aku kira itu adalah Gino, namun aku salah. Orang yang menepuk bahuku adalah Ryan, orang yang sangat menyebalkan.

Ryan menyeringai dan menjulurkan lidahnya kepadaku saat aku menatapnya. Aku yang tadinya masih bingung memikirkan hal yang tadi langsung mengomel kepada Ryan, “Heh, Ryan. Ngapain lo?”

Ryan nyengar-nyegir gak jelas dan sebelum ada barang yang melayang ke kepalanya, ia langsung kabur. Aku mendengus kesal. Baru aku sadari bahwa gara-gara Ryan, aku tadi beberapa saat dapat melupakan kejadian itu.

Aku kembali berjalan ke luar sekolah. Saat sampai di gerbang sekolah, dapat aku lihat bahwa Reza sedang berdiri di gerbang sekolah sendirian. Reza melihatku yang sedang berjalan ke arahnya. Tidak, lebih tepatnya berjalan ke arah gerbang sekolah karena aku memang mau pulang, bukan mau menemui Reza.

“Aku antar pulang?” tawar Reza dengan memberikan senyumnya padaku. Aku menatap datar dan segera menggelengkan kepala, “Naik motor? Aku tidak suka orang yang melanggar peraturan berkendara.”

“Baiklah kalau begitu. Boleh aku temani kau naik angkutan umum?” Sepertinya Reza belum menyerah. Terpaksa aku mengiyakan tawarannya itu. Walau dalam hati aku merasa senang sekali karena Reza memperhatikanku, namun aku tak mau terlihat seperti itu di depannya.

Kami berdua pun berjalan bersama dan menunggu angkutan umum. Aku merasa sedikit canggung karena belum pernah jalan bersama dengan cowok kecuali Lukman, Gino, Dikcy, Ayahku dan saudara laki-lakiku.

Yah walaupun kami tidak bergandengan tangan (aku pun sama sekali tak mau walaupun kami memang berpacaran), aku dapat mengartikan tatapan anak-anak yang melihat kami jalan bersama. Mereka menganggap bahwa aku dan Reza sedang berpacaran.

Aku dan Reza menunggu angkutan umum. Akhirnya ada angkutan umum juga dan kami segera naik. Reza naik lebih dahulu lalu setelahnya aku.

Ketika angkutan sudah jalan, Reza mengajakku dalam pembicaraan santai. Aku menikmati jalannya pembicaraan ini. Dan aku baru mengetahui bahwa Reza juga sama menyukai anime seperti aku. Cara bicaranya pun entah kenapa aku suka.

Tak terasa bahwa sudah sampai di depan rumahku. Aku pun segera meminta sopir untuk berhenti lalu turun dan menyerahkan uang.

Reza masih berada di dalam angkutan karena rumah kami searah. Jarak antara rumahku dan rumah Reza sekitar 200 m.

Aku segera masuk ke dalam rumah dan menjalankan rutinitasku setelah pulang sekolah, yaitu makan, tidur, dan membaca novel/buku/komik.

---***---

Sebelum matahari terbit, aku sudah bangun dari tidurku yang nyenyak. Seperti biasa, aku segera mengambil HP-ku dan melihat jam berapa ini. Saat aku lihat layar HP-ku, aku melihat ada satu sms dari nomor yang tidak aku kenal. Aku buka saja sms itu dan isinya,

Selamat Pagi, Nesha. Sudah bangun bukan?
Berangkat sekolah bareng ya –Reza-


Aku menatap layar HP-ku, langsung saja aku mengetik balasan dengan cepat.

Gak usah, ka. Lagian juga sekolah kita gak searah

Setelah mengetik itu, aku segera bangkit dari tempat tidurku dan menaruh HP-ku di meja belajar. Saat akan keluar kamar, aku melihat bahwa HP-ku bergetar. Aku langsung mengambilnya dan membuka sms balasan dari Reza.

Hmmm...... Klo aku memaksa?

Aku merasa senang bahwa ternyata Reza memperhatikanku. Aku akhirnya mengikuti kemauan Reza.

Terserah kakak saja.

Tak disangka setelah beberapa detik aku mengirim balasan itu, langsung ada balasan dari Reza. Dia memang punya kecepatan dalam mengetik atau apa sih? Padahal dulu saat aku mengiriminya sms ngejawabnya laaamaaaa banget.



Walaupun senang, tapi karena biasanya mood-ku tidak baik ketika baru bangun tidur, aku segera saja pergi mandi dan menjalankan rutinitas pagiku.

Orang tuaku sedang sibuk kerja di luar negeri. Aku adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Kakakku sudah kuliah di Australia. Jadi, di rumah yang cukup besar ini, aku tinggal sendirian. Walaupun jika pagi sampai sore masih ada pembantu yang bekerja di sini untuk bersih-bersih dan memasak.

Kalau soal masalah masak memasak, jangan ditanya lagi, aku saaaangaaattt buruk dalam hal masak memasak. Aku pernah membuat nasi goreng, dan itu pun rasanya hancur bagiku. Gak asin, tapi terpaksa aku makan karena saat itu sedang tak ada makanan yang lain.

Mandi, makan sudah. Tinggal berangkat. Walaupun masih pukul 05:45, aku memilih untuk langsung berangkat dengan jalan kaki saja karena aku menghindari berangkat bersama Reza.

Saat aku keluar dan mengunci rumah lalu menaruh kunci di tempat biasa, aku tak melihat batang hidung Reza. Aku dapat bernafas lega. Segera saja aku berangkat ke sekolah.

-Sekolah-

Saat baru sampai di sekolah, dapat aku lihat koridor kelas 3 sudah cukup ramai. Padahal sekarang masih sangat pagi. Aku menatap heran ke atas dan banyak yang menatapku dengan tatapan penuh tanya dan sebagainya.

Aku menaiki tangga dan ketika sudah sampai di ujung tangga, anak-anak cewek langsung mengerubungi dan menyerbuku dengan berbagai pertanyaan tentang hubunganku dengan Reza. Aku menjawab dengan santai, namun lama-kelamaan aku juga capek meladeni mereka. Aku berusaha mencari jalan keluar, sayangnya hal itu mustahil.

Sepertinya keberuntungan berpihak padaku saat ini. Entah ada angin apa, Ryan berangkat pagi dan menyelamatkanku. Mereka sempat mengejar kami. Untungnya kami berhasil lolos. Untuk sementara, kami berada di atap sekolah karena itu adalah tempat yang paling aman sekarang.

Nafasku tak beraturan karena tadi berlari-lari. Ryan tak terlihat sepertiku, dia masih saja memasang tampang datarnya. Setelah dapat bernafas teratur lagi, aku memutuskan untuk berterimakasih. “Terima-”

Sebelum aku menyelesaikan kata-kata itu, tiba-tiba Ryan memelukku dengan erat. Aku sontak saja memberontak karena sikap Ryan yang aneh ini. Ryan tidak mau melepaskanku, malah semakin mempererat pelukannya.

“Ryan!! Lepaskan aku!!” seruku, namun Ryan sepertinya tidak menghiraukan perkataanku. Akhirnya aku diam saja karena percuma memberontak. Ryan bahkan tak mendengarkanku.

Kami tetap dalam posisi seperti ini selama 10 menit. Selama itu, aku merasa ada perasaan yang hinggap di dadaku. Perasaan senang? Aku tak tahu.

Ryan akhirnya melapaskanku. Ia memegang kedua bahuku dan menatapku tajam. Tajam dan perlahan-lahan melembut. “Apa kau akan menerimanya?”

Mataku terbelalak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ryan. Aku berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang Ryan tanyakan padaku tadi. Entah apa yang membuatku seperti ini, aku langsung lari dan pergi ke kamar mandi.

Di kamar mandi, aku dapat merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Bahkan lebih cepat daripada saat Reza menembakku.

Saat aku masih berada di dalam kamar mandi, aku dapat mendengar suara cewek yang dari nada bicaranya ia terlihat menyesal. Sepertinya aku mengenali suara cewek itu.

“Ka Reza..... Kenapa? Kenapa kau malah memilih dia? Sahabatku sendiri? Padahal, aku sudah menunggumu sangat lama.”

Itu suara Riri. Apa sebenarnya Riri menyukai Reza juga? Sama sepertiku? Yang tahu bahwa aku sebenarnya memang menyukai Reza hanya Gino dan Ryan saja. Aku kembali mengingat pernyataanku dulu kepada salah satu teman sekelasku. Pernyataan yang mengatakan bahwa jika sahabatku menyukai orang yang sama denganku, maka aku akan merelakan dia untuk sahabatku dan berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu.

Jika benar seperti itu, aku memang harus melupakannya. Tapi, sekali lagi, apa aku dapat melakukannya? Apa aku dapat melupakan Reza? Apa aku dapat menghapus Reza dari ingatanku?

Tak terasa bel masuk berbunyi. Aku segera keluar dari kamar mandi dan pergi menuju kelasku.

-Istirahat-

Atap sekolah. Itulah yang menjadi tempat tujuanku saat istirahat ini. Aku ingin melepaskan semua masalahku dulu dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang aku anggap konyol tentang aku dengan Reza.

Di atap sekolah, aku berdiri menatap langit dan merasakan hembusan angin yang menerpa wajah serta rambutku. Kumasukan tanganku ke dalam rok. Aku membiarkan angin membawa sejenak semua masalahku.

Dapat kudengar suara pintu terbuka. Aku berbalik untuk mengetahui siapa yang pergi ke atas saat istirahat. Ternyata dia Ryan. Aku merasa bahwa kali ini Ryan terlihat lebih.... cool?

Ryan tersenyum kepadaku. Pipiku bersemu merah. Aku pun tak tahu mengapa aku bisa seperti ini di depan Ryan.

“Tadi pagi.... Terima kasih,” ucapku pada Ryan yang masih tersenyum padaku. Ryan perlahan berjalan ke arahku.

“Untuk apa?” tanya Ryan ketika ia sudah berada di sampingku. Ia membawa jaket berwarna hitam yang biasa ia pakai.

“Menyelamatkanku dari mereka,” jawabku. Aku berjalan dan membelakangi Ryan. Angin berhembus kencang dan itu membuatku kedinginan. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang Ryan kenakan padaku. Ternyata ia memberiku jaketnya.

“Kau kedinginan,” ujar Ryan yang langsung memelukku dari belakang. Aku merasa canggung dengan sikap Ryan sekarang. Jika ada yang pergi ke atap sekarang, maka dia akan mengira bahwa kami sedang berpacaran.

“Ryan, bisa lepaskan aku?” pintaku pada Ryan. Ryan menuruti perkataanku, ia melepaskan pelukannya. Ryan memutar tubuhku sehingga aku dan ia behadapan. Jarak diantara kami tak lebih dari 30 cm. Aku dapat merasakan wangi tubuh Ryan yang bisa dikatakan cukup memabukan bagiku.

“Ryan, sebenarnya apa maksudmu melakukan itu?” tanyaku. Ryan terdiam membisu. Aku masih menunggu jawaban Ryan. Namun setelah sekian menit Ryan tidak menjawab pertanyaanku sehingga aku memutuskan untuk kembali kelas saja. Selain itu juga karena bel istirahat selesai sudah berbunyi.

-Pulang sekolah-

“Gino, aku pulang duluan ya,” ucapku pada Gino yang sedang piket. Saat Gino akan menjawab, aku sudah melambaikan tanganku padanya dan keluar kelas.

Sepertinya kali ini mereka tidak mengejarku lagi. Aku bersyukur karena tak perlu berlari-lari lagi.

Di pintu gerbang, aku bertemu dengan salah satu teman dekat Reza. Ia bernama Kevin. “Nesha, bisa kita bicara sambil aku mengantarmu pulang?”

“Hmm.. Baiklah.” Kevin mengantarku menuju mobilnya dan membukakan pintu untukku. Aku masuk ke dalam mobil. Kevin masuk ke dalam mobil dan segera menginjak pedal gas.

“Nesha, apa kau akan menerima Reza?” tanya Kevin sambil menyetir.

“Entahlah. Aku belum memutuskannya,” jawabku.

“Aku beri tahu kau satu hal. Sejak Reza melihatmu untuk pertama kali, saat kami bertemu denganmu di sebuah gang, ia terkejut melihat ada seorang siswi yang dapat menghabisi preman-preman.”

“Lalu?”

“Sejak saat itu, dia mulai tertarik padamu.”

“Reza belum mengenalku dengan baik. Aku rasa dia terlalu bertindak gegabah.”

“Memang dia terlalu gegabah. Namun, selama ia menjalin hubungan dengan gadis, ia sama sekali belum pernah bersikap seperti kepadamu.”

“Oh begitu rupanya. Sepertinya aku sudah menemukan jawabanku untuk Reza karena informasimu itu. Terima kasih tumpangannya,” ucapku ketika mobil Kevin sudah berada di depan rumahku. Aku segera turun dan masuk ke dalam rumah.

-Keesokan harinya-

Hari ini bagi kebanyakan orang adalah hari yang biasa saja. Namun bagiku, hari ini adalah hari yang menentukan apakah aku akan menjaga kata-kataku ataukah melanggarnya.

Saat pulang sekolah, Reza dan Kevin datang ke sekolah. Aku dan anggota band yang lain sedang menunggunya di tempat yang sama seperti waktu itu. Aku tahu Riri merasa khawatir walaupun dia berusaha menyembunyikannya.

Reza dan Kevin datang menghampiri kami. Ketika Reza dan Kevin sudah berada di depanku, aku segera berdiri dan berhadapan dengan Reza.

“Nesha-”

“Aku mengerti kemauanmu. Tapi kau terlalu bertindak gegabah. Kakak tidak mengenalku dan tidak berusaha mengenalku. Walaupun kakak sempat menyuruh Kevin untuk berbohong kepadaku, tapi itu tidak berhasil. Aku sudah mengenal Kevin sejak kecil. Aku dapat melihat bahwa mata Kevin berbohong saat itu. Dan jawabannya............ Maaf, aku tidak bisa. Ada seorang gadis yang menunggumu sejak lama. Dia ada disekitar sini. Sekali lagi, maafkan aku.”

Setelah berkata panjang kali lebar sama dengan luas, aku membungkukan badanku dan segera pergi ke atap sekolah. Dicky, Lukman, Gino, dan Riri menatapku tak percaya.

-Atap sekolah-

Aku menarik nafas panjang. “Reza............ Reza.........” Air mataku mulai turun. Ternyata benar, aku tak dapat dengan mudah melupakan Reza. Aku merasa sedih karena keputusanku ini, namun kulakukan demi Riri.

“Aku benci melihatmu menangis, Nesha.” Aku langsung berbalik dan melihat bahwa Ryan menyodorkan sapu tangannya padaku. Aku masih terdiam, sehingga Ryan menghapus air mataku dengan sapu tangannya.

“Tapi untuk kali ini saja, menangislah sepuasnya.” Aku langsung memeluk Ryan dan menangis di dadanya. Ryan membelai rambutku dengan lembut.

Setelah beberapa saat, aku melepaskan Ryan dan menghapus air mataku sediri. “Kau tahu? Sebenarnya aku sedih melihatmu seperti ini.”

“Ryan...... Aku cengeng, bukan?” ucapku berbalik membelakangi Ryan.

“Iya, kau memang cengeng, lemah, dan bodoh. Namun kau berusaha bersikap bahwa kau ini kuat dan tidak cengeng.” Ucapan Ryan barusan membuatku terkesima, namun itu tak bertahan lama setelah ia mengejekku.

“Ditambah lagi, kau itu jelek, nyebelin, sok tahu, sok pinter, sok kuat, dan sebagainya,” ucap Ryan sambil menjulurkan lidahnnya kepadaku dan berlari menjauhiku.

Sontak saja, aku mengejarnya. Sebelum Ryan sempat mencapai gagang pintu, tubuhnya sudah kutarik. Aku harus bersyukur karena memiliki kekuatan ini. Tapi kok, rasanya Ryan malah semakin mendekatiku sih? Dan juga ekspresinya itu seperti kaget.

Aku baru menyadari bahwa Ryan akan jatuh menimpaku, namun terlambat, tubuh Ryan sudah menindihku.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Ternyata Ryan tidak benar-benar menindihiku, ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya. Ryan segera berdiri dan membersihkan debu yang menempel di bajunya.

“Heh, kau ini gimana? Gara-gara kamu nih, Nes. Bajuku kotor kan,” teriak Ryan. Eh bukannya minta maf, dia malah marah-marah lagi.

“Apaan coba? Kamu yang harusnya minta maaf ke aku, tau gak? Sakit tahu.”

“Leh???? Siapa yang narik duluan coba? Salahmu sendirilah!!”

“Kenapa kau selalu bersikap seperti itu padaku?” tanyaku dengan terisak. Kali ini, aku baru menyadari, bukan Reza yang aku sukai sebenarnya. Ryan-lah yang aku suka. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, namun saat Ryan memelukku aku merasa sangat nyaman dan tenang.

“Maksudmu?”

“Aku.........” aku tak dapat melanjutkan kata-kataku dan menangis. Sekali lagi, Ryan memelukku, berusaha untuk menenangkanku.

“Sudah aku katakan sebelumnya. Aku benci melihatmu menangis!” ucap Ryan lembut namun aku masih dapat menemukan nada ketegasan di sana. Aku memandang Ryan dan ia balik memandangku.

Ryan melepaskan pelukannya. Ia mengangkat tangan kirinya dan mengarahkan dua jarinya itu ke arahku. Lebih tepatnya ke dahiku, dan ia menyentuhkan jarinya ke dahiku.

Perlakuannya ini mengingatkanku pada salah satu tokoh yang ada di salah satu anime kesukaanku. Tapi aku lupa anime apa itu.

Ryan berbalik dan berjalan menjauhiku. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, ia menoleh ke belakang. Kami berdua sama-sama tersenyum.

“Nesha, jangan sembunyikan perasaanmu. Dan........... Aku menyukaimu,” ucap Ryan sebelum ia turun. Aku terdiam mendengar perkataan terakhir Ryan tadi. Apa dia tadi mengatakan bahwa dia menyukaiku?

Aku tersenyum senang dan segera berlari mengejar Ryan. Sekolah sudah sepi sekarang. Ryan masih berada di tangga, jadi aku langsung menarik tangannya dan berkata, “Aku menyukaimu juga.”

Ryan tersenyum kepadaku dan mengacak-acak rambutku pelan. “Aku antar kau pulang.” Aku hanya mengangguk. Kami berdua jalan berdua sambil bergandengan tangan.
-The End-

Jumat, 19 Agustus 2011

Dark and Light ( III )

Di halaman belakang sekolah, Robin berjalan menghampiri sebuah pohon yang rindang dan ia bersandar di pohon itu. Tak lama kemudian, spirit Robin yang bernama Flash datang. Flash bertengger di bahu Robin. Sedangkan Robin hanya menutup matanya.

Angin berhembus kencang membuat rambut Robin yang cukup panjang dan berwarna hitam itu sedikit berantakan sehingga Robin mengangkat tangan kanannya untuk merapikannya. Bunyi gemerincing itu terdengar lagi. Robin memang menggunakan gelang yang memiliki bel kecil di tangan kanannya, jadi jika ia menggerakannya cukup keras maka bel itu akan berbunyi.

Bel tanda istirahat telah selesai berbunyi. Tak lama kemudian, Robin beranjak dari tempat favoritnya itu dan kembali ke ruang kelasnya yang berada di lantai satu.

Setiap ada jam kosong maupun istirahat, Robin memang suka pergi ke halaman belakang sekolah dan bersandar di pohon yang ada di sana. Jadi karena itu, tak heran Robin tak memiliki teman satu pun. Saat ada tugas kelompok pun Robin hanya sendiri saja, ia sudah terbiasa seperti itu.

Bukannya Robin tak mau bergaul dengan yang lainnya, namun mereka hanya berteman dengan Robin karena ia itu pemilik sekolah ini. Dan tak sedikit pula para orang tua dari siswa di sekolah itu yang memberi uang pada Robin agar anak mereka dapat mendapat peringkat pertama. Saat Robin menemui orang tua yang seperti itu, ia langsung melemparkan uang itu ke atas, berkata “Lebih baik uangmu itu disumbangkan saja” atau “Jangan membuang-buang uang hanya untuk kesenangan anakmu semata,” setelah mengatakan itu Robin langsung pergi.

Memang cukup aneh kenapa orang tua dari siswa-siswi di sekolah itu malah memberi uang pada Robin, padahal di sekolah-sekolah biasa hanya tinggal memberikannya pada guru. Sekolah ini memang khusus, yang berhak memutuskan peringkat seorang siswa itu adalah pemilik sekolah. Setelah para guru memasukan nilai para siswa, mereka menyerahkannya pada pemilik sekolah. Para guru bisa saja membuat laporan palsu, namun pasti pemilik sekolah tahu kalau laporan itu palsu. Dan ada ganjarannya jika guru berani berbohong, guru-guru bisa dipecat.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sekolah ini memang khusus. Siswa yang masuk ke sekolah ini haruslah cerdas. Setiap liburan, siswa-siswi berlibur ke luar negeri tanpa biaya. Jadi tak heran jika banyak orang tua yang ingin memasukan anaknya ke sekolah ini. Guru-guru yang mengajar di sini pun semuanya bergelar Profesor. Fasilitas di sekolah ini pun sangatlah lengkap. Sekolah milik Robin ini biasa disebut Senior High School 1 dan berstandar internasional.

----****----

“Aku pulang,” ucap Robin pelan ketika memasuki rumahnya yang juga merupakan markas utama dari Dark Organization. Orang-orang yang ada di sana langsung menatap ke arah pintu masuk dan melihat Robin berjalan gontai memasuki ruangan.

“ROOOOBBIIIIIINN~ Kau baru pulang? Kau tak apa bukan?” Trian berlari menghampiri Robin dan berniat memeluknya. Robin menatap datar Trian yang berlari ke arahnya dan langsung menghindar dengan gerakan yang cukup anggun sehingga Trian memeluk salah satu tiang yang berada di rumah itu.

Robin berhenti sejenak dan melihat keadaan Trian. Setelah yakin bahwa Trian baik-baik saja, Robin langsung kembali berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai 2.
Sepertinya Trian belum menyerah juga. Ia langsung kembali mengahampiri Robin dan kali ini ia berhasil memeluk Robin dari belakang. “Robin, kita jalan-jalan yuk!” Trian memasang puppy eyes-nya.

“Aku sedang malas,” Robin menjawabnya dengan tenang.

“Trian, biarkan Robin istirahat dulu. Dia baru pulang dari sekolah.” Seseorang menghampiri Trian yang masih memeluk Robin dengan erat.

“Benar apa yang dikatakan Seth tadi, Trian. Robin membutuhkan istirahat, apalagi beberapa hari yang lalu ia baru saja bertarung dengan Rei dengan kesehatannya yang sedang buruk,” ucap Clara yang sedang bersandar pada tangga sambil memegang secangkir kopi.

“Tidak, aku tahu Robin itu kuat,” Trian tetap pada pendiriannya dan tak mau mendengarkan perkataan orang lain.

Clara hanya dapat menghela nafasnya lalu meminum kopinya. “Sepertinya kau tak mau mendengarkan perkataan orang lain selain Robin dan Ryu ya? Baiklah, terpaksa aku menggunakan kekerasan,” ucap Seth dengan seringai khasnya.

Seth memukul Trian dengan keras sehingga Trian melepaskan Robin. Trian yang emosinya langsung naik memukul balik Seth. Dan terjadilah adu tinju antara Seth dan Trian.

Yang lain hanya melihat perkelahian antara Seth dan Trian dengan tenang dan setelah itu melanjutkan diskusi mereka tentang misi yang akan dikerjakan malam ini. Sedangkan Robin menghampiri Clara dan berdiri di sampingnya.

-Beberapa jam kemudian-

Seth dan Trian sepertinya telah selesai. Wajah mereka yang tadinya lumayan tampan terlihat babak belur. Melihat keadaan yang sudah cukup terkendali, Clara dan Robin menghampiri kedua pemuda itu. Clara memapah Trian menuju kamarnya dan mengobatinya. Sedangkan Robin memapah Seth menuju kamar Seth dan mengobatinya juga.

Ryu baru datang setelah perkelahian selesai. Untungnya Ryu tidak melihat perkalahian itu, jika ia melihatnya mungkin rumah itu sudang rata dengan tanah jika tidak menggunakan sihir agar tetap berdiri kokoh.

“Apa Robin sudah pulang?” tanya Ryu kepada orang-orang yang berada di ruangan itu.

“Sudah,” jawab salah satu cewek di ruangan itu yang bernama Viona. Di organisasi itu Viona menjadi orang yang memeriksa laporan dari para anggota setelah usai menjalankan misi.

“Di mana ia sekarang?” Ryu berjalan menuju sofa dan duduk di sana.

“Sedang bersama Seth,” tutur Alex dengan santai. Ryu terdiam sejenak, setelah itu ia beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum.

-Beberapa saat kemudian-

Robin keluar dari kamar Seth dan bergabung dengan anggota yang lain sedang membahas misi. “Siapa yang menjadi korban kita kali ini?” Robin duduk di sofa yang masih kosong karena semua anggota telah berkumpul, minus Seth dan Trian yang masih tertidur karena tenaga mereka hampir habis.

“Namanya Arya. Ia bekerja di departemen keuangan dan menjabat sebagai wakil direktur keuangan. Usianya cukup muda untuk menjadi seorang wakil direktur, 25 tahun. Ia menyewa sekelompok yakuza untuk menjaga rumah dan dirinya. Rumahnya memiliki tingkat keamanan yang cukup tinggi. Jadwal kegiatannya malam ini, pukul 7 pergi menghadiri pertemuan di sebuah restoran mewah di tengah kota, pukul 8.30 perjalanan pulang menuju rumahnya, pukul 9 mengadakan pesta di rumahnya, pukul 2 pesta selesai dan pergi tidur,” Viona membacakan rincian dengan cepat dan jelas.

“Kesalahannya?” tanya Robin. Muka Robin terlihat pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Seperti orang yang sedang menahan sakit.

“Memalsukan laporan keuangan, mengambil uang perusahan tanpa ijin maupun laporan, dan dalam kasus pembunuhan yang terjadi 2 tahun lalu, ialah pelakunya. Seperti biasa Daniel yang telah menyelidiki kasus itu,” jawab Viona.

“Sepertinya cukup rumit,” tanggap Ryu. Ia sedang berpikir siapa yang akan melaksanakan tugas itu. “Siapa yang akan ke sana?”

“Alex dan George. Mereka belum menerima misi minggu ini,” usul Clara. Ryu memikirkan usul Clara. Alex dan George hanya terdiam menunggu keputusan ketua mereka.

“Ijinkan aku ikut,” ucap Robin tiba-tiba sehingga membuat yang lainnya terkejut.

“Jangan bercanda, Robin. Kau belum pulih benar, wajahmu masih sedikit pucat. Biar aku dan Alex saja,” ucap George.

“Baiklah, sudah diputuskan. Alex dan George yang akan menanganinya kali ini, aku harap tidak ada jejak. Mengerti?” Ryu menatap tajam Alex dan George. Alex dan George langsung mengangguk dan bersiap-siap untuk misi yang diberikan pada mereka.

“Semoga mereka berdua tidak apa-apa,” gumam Robin pelan namun Ryu dapat mendengarnya.
“Mereka akan baik-baik saja. Spirit Alex itu berupa tombak dan spirit George berupa panah. Kombinasi serangan mereka sangat baik dan juga George ahli dalam menerobos tingkat keamanan setinggi apa pun,” ucap Ryu yang sedang menutup matanya.

Walaupun sudah mengetahui kemampuan Alex dan George, Robin tetap saja khawatir. Wajahnya terlihat murung. Viona melihat wajah Robin yang murung menghampirirnya, “Sebaiknya beristirahatlah dulu.”

Kali ini Robin menurut perkataan Viona dan ia beranjak menuju kamarnya untuk beristirahat sejenak. Clara menatap aneh Robin, ia merasa bahwa sikap Robin kali ini sangat aneh. Robin bukanlah orang yang dengan mudah mematuhi perkataan orang lain. Akhirnya Clara memutuskan untuk mengikuti Robin.

Sementara itu, orang-orang yang lain masih berada di ruangan. Orang yang masih ada di ruangan itu adalah Ronand, Kevin, Ivan, Fernand, Jessica, Viona, Daniel, Gabriel, Kazen, Ryu, dan Phill.
Diantara sekian anggota, yang seumuran dengan Robin cukuplah banyak. Seth 17 tahun, Trian 16 tahun, Clara 17 tahun, Alex 21 tahun, George 22 tahun, Ronand 19 tahun, Kevin 20 tahun, Ivan 16 tahun, Fernand 20 tahun, Jessica 19 tahun, Viona 24 tahun, Daniel 23 tahun, Gabriel 22 tahun, Kazen 17 tahun, Ryu 28 tahun, Phill 16 tahun, dan Robin 17 tahun.

Kazen, Clara, Phill, Seth, Trian, Ivan bersekolah di sekolah yang sama dengan Robin namun tidak sekelas dengannya. Dan selama di sekolah mereka saling bersikap dingin pada anggota yang lain kecuali Trian tentunya. Trian selalu mencuri-curi kesempatan untuk berkomunikasi dengan Robin di saat Robin sedang tidak sibuk dengan urusan sekolah. Sedangkan anggota yang lainnya bersekolah di sekolah terpisah.

Anggota Dark Organization yang sekarang hanyalah 17 orang. Dahulu jumlah mereka cukup banyak, namun dikarenakan orang tua angkat Robin memberontak dan membunuh anggota yang lain, yang tersisa sekarang hanyalah sejumlah ini.

Bagi para anggota Dark Organization, rumah Robin adalah rumah mereka juga. Walaupun ada yang memiliki rumah tersendiri namun mereka (yang memiliki rumah sendiri) lebih sering menginap di rumah Robin. Ryu yang sebagai pemimpin dan yang tertua di Dark Organization tinggal bersama Robin karena sejak dulu ia yang merawat rumah peninggalan orang tua kandung Robin. Karena Ryu yang tertua, anggota yang lainnya selalu menghormati Ryu walaupun sesekali mereka membuat Ryu geram.
----****----
[berlanjut ke Dark and Light ( IV )]

Kamis, 04 Agustus 2011

Dark and Light ( II )

“Robin, tolong kerjakan soal yang ada di buku halaman 194 nomor 4 di papan tulis!” perintah guru matematika yang sedang mengajar di kelas XI 4, Prof. Sebastian. Robin membaca soalnya sejenak lalu ia langsung menuju papan tulis untuk menuliskan jawabannya. Dengan cepat Robin menuliskan jawaban itu dan kembali ke bangkunya.

Teman-teman sekelasnya tidak heran jika Robin dapat mengerjakan soal yang termasuk sangat rumit itu dengan cepat dan jawabannya tepat. Sejak mulai masuk ke kelas XI, Robin memang dapat berpikir semakin cepat.

Setelah Robin selesai menuliskan jawabannya, Prof. Sebastian menjelaskan jawaban yang ada di papan tulis. Sedangkan Robin menopangkan dagunya dan memandang ke luar karena merasa bosan. Posisi Robin tetap seperti itu sampai bel istirahat berbunyi.
Robin segera bangkit dan pergi menuju halaman belakang sekolah. Rei juga bersekolah di sekolah yang sama, namun mereka berbeda ruang kelas.

Sekolah itu sekarang milik Robin. Dulu memang orang tuanya yang memilikinya, namun karena mereka telah dibunuh oleh pembunuh bayaran, jadi sekarang Robin-lah yang memilikinya.

Robin menjadi seorang pembunuh bayaran di usianya yang semuda itu. Aneh memang. Ia menjadi pembunuh bayaran, sedangkan orang tuanya dibunuh oleh pembunuh bayaran.. Entah apa yang sebenarnya Robin inginkan. Robin masuk ke dalam organisasi yang bernama Dark Organization seminggu setelah orang tuanya meninggal. Usia Robin pada saat itu masih 8 tahun.

Flashback
“Hiks..... Hiks..... Kenapa?” tanya seorang anak berusia sekitar 8 tahun pada seorang pria dihadapannya. “Kenapa kau membunuh mereka?” nada bicara anak itu mulai meninggi.

“Karena mereka telah melakukan kesalahan yang besar,” jawab pria itu memandang sadis anak yang duduk dihadapannya. “Kau ingin tahu apa kesalahan mereka?” tanya pria itu.

Anak itu mengangguk. “Berdiri dulu. Tunjukan padaku kau masih pantas hidup jika kau tak ingin mati seperti kedua orang tuamu yang menjijikan itu.” Anak itu langsung berdiri dan matanya menunjukan kemarahan yang sangat besar ketika mendengar kedua orang tuanya disebut menjijikan oleh pria dihadapannya, “APA MAKSUDMU????"

Pria itu menatap tajam mata anak itu. Sesaat ia melihat bahwa ada kekuatan yang sangat besar berkobar di kedua bola mata anak itu dan itu membuatnya terkejut lalu ia menyeringai, “Kau anak yang menarik. Kekuatanmu masih tertidur di sana,” kata pria itu.

“Siapa kau?” tanya anak itu yang emosinya makin meningkat karena pria yang ia tanya malah tidak menjawab pertanyaannya.

“Ryu, pemimpin Dark Organization,” jawab pria itu sambil tetap melihat mata anak itu. Kegelapan mulai menyelimuti mata itu. Awalnya mata anak itu berwarna coklat kehitaman, namun perlahan-lahan berubah menjadi hitam.

“Dark Organization? Bukankah itu adalah tempat di mana kedua orang tuaku bekerja? Dan mengapa kau membunuh mereka?” tanya anak itu pada Ryu. Matanya mulai kembali seperti biasa lagi.

“Orang tuamu merahasiakan keberadaanmu dari kami, para tetinggi Dark Organization. Selain itu mereka juga berencana membunuhmu karena mereka tahu bahwa kau itu akan menjadi seorang pembunuh bayaran yang menakutkan. Dan satu lagi yang perlu kau tahu, orang yang selama ini kau anggap orang tuamu, bukanlah orang tua kandungmu,” jelas Ryu.

Anak itu langsung terkejut dan ia mulai bingung dengan keadaan yang sebenarnya. Selama ini orang tuanya selalu baik padanya, “Mereka selalu baik padaku. Mereka tak mungkin memiliki niat untuk membunuhku!!!”

“Siapa namamu?” tanya Ryu berjongkok agar tinggi keduanya sejajar.
“Robin,” jawab anak itu dan ia menatap mata Ryu. Ryu juga menatap mata Robin. Mereka berdua sama-sama memberi tatapan yang tajam dan mengerikan.

“Baiklah, ikutlah denganku. Orang tua kandungmu menghilang setelah kau lahir. Kami juga sedang mencari mereka, karena mereka adalah.......” Ryu terdiam sejenak.

“Apa kalian akan membunuh orang tua kandungku jika mereka sudah ditemukan?” tanya Robin tak sabar.

“Tidak, tidak. Kami tidak akan membunuh mereka, tidak akan ada yang berani. Bahkan aku sekalipun,” kata Ryu menggelengkan kepalanya.

“Kenapa kau tak bisa? Bukankah kau pemimpin Dark Organization? Dan pasti pemimpin itu yang terkuat bukan?” desak Robin karena ia ingin mengetahui lebih jauh.

“Memang akulah yang terkuat diantara semuanya. Namun, orang tua kandungmu itu adalah................... pendiri Dark Organization dan sekaligus mereka telah sempurna menguasai ilmu yang kami pelajari. Buku yang mereka tulis tentang ilmu-ilmu yang terlarang dan bagaimana cara menyempurnakan kekuatan kami, telah mereka bakar. Ada kabar bahwa mereka menyembunyikan semua isi buku itu pada pikiran seseorang. Sampai saat ini kami sedang mencari siapa orang itu.”

“Selanjutnya, karena kau ternyata adalah anak dari pendiri Dark Organization, kau akan mendapat perlakuan yang sangat tinggi. Jadi bergabunglah dengan kami,” kata Ryu dan ia menjulurkan tangannya pada Robin. Robin terlihat berpikir sejenak. Lalu ia menatap Ryu dan menerima uluran tangan Ryu.

“Ada satu lagi yang ingin aku tanyakan, siapa nama orang tua kandungku?”

“Tuan Jason dan Nyonya Lucy. Mulai sekarang aku akan memanggilmu Nona Robin, apa kau keberatan, Nona?” tanya Ryu sedikit membungkukan badan pada Robin.

Robin merasa aneh, “Panggil aku Robin saja.”

Robin dan Ryu kemudian berjalan keluar dari rumah ‘orang tua’ Robin. Sedetik kemudian, rumah itu terbakar. Robin sempat menatap rumah yang selama beberapa tahun itu menjadi tempat tinggalnya. Ryu yang melihat bahwa Robin sedang menatap rumah itu langsung berkata, “Tidak ada yang boleh tahu bahwa kau pernah tinggal di sana. Apalagi musuh kita. Dan aku telah membakarnya dengan kekuatanku. Itulah salah satu dari kekuatan seorang pembunuh bayaran sejati.”

“Pembunuh bayaran sejati?” tanya Robin tidak mengerti dengan pembicaraan ini karena merupakan hal yang baru baginya.

“Orang-orang yang masuk ke dalam Dark Organization bukanlah pembunuh bayaran biasa. Kami tidak menggunakan pistol ataupun pedang yang termasuk benda mati. Kami menggunakan spirit kami. Mereka dapat berbentuk apa saja sesuai dengan pikiran tuannya ketika tuannya itu membuatnya. Spirit-spirit itu hanya dapat berubah menjadi senjata bagi tuannya. Semakin kuat tuannya maka semakin kuat pula spirit itu. Spirit adalah sebagian dari jiwa tuannya. Dan satu lagi, bentuk awal spirit sebelum berubah menjadi senjata hanya sebagai binatang. Karena mereka selalu mengikuti tuannya kemanapun tuannya pergi,” jelas Ryu pada Robin.

Robin langsung mengerti apa yang dijelaskan oleh Ryu karena Robin memiliki kecerdasan diatas rata-rata sejak ia lahir.

Di Dark Organization orang yang melatih Robin mulai dari awal adalah Ryu, jadi tak heran jika Robin sangat dekat dengan Ryu. Robin dapat menguasai kekuatan itu dengan sangat cepat. Bahkan ia membuat spiritnya pada usia 10 tahun. Padahal anggota yang lain baru dapat membuat spirit mereka pada usia 17 tahun. Spirit Robin berbentuk burung gagak dan senjata yang Robin gunakan adalah pedang.

----****----
[berlanjut ke Dark and Light ( III )]

Rabu, 03 Agustus 2011

Dark and Light ( I )

Seorang gadis berjalan menelusuri jalan setapak yang sudah sepi. Jam di tangan gadis itu sudah menunjukan pukul 23:00. Entah apa yang ia lakukan pada tengah malam seperti ini. Gadis itu terus berjalan mendekati sebuah rumah mewah yang berada di ujung jalan.

Seekor burung gagak mendekati gadis itu dari arah belakang. Seakan sudah mengetahui kedatangan seekor burung gagak, gadis itu langsung mengangkat lengan kirinya lalu burung itu hinggap di lengannya. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak. Secara tiba-tiba, burung gagak itu menghilang dan tangan kiri gadis itu memegang sebilah pedang yang seluruhnya berwarna hitam.

Gadis itu kembali berjalan menuju rumah yang berada di ujung sana. Di bawah lampu jalan, penampilan gadis itu terlihat dengan jelas. Ia mengenakan pakaian berwarna dark blue disertai blazer berwarna senada, matanya berwarna hitam pekat, dan rambutnya berwarna hitam legam.

Akhirnya gadis itu melewati pintu pagar yang terbuka dan sampai di depan pintu rumah. Sewaktu akan membukanya, ada sebuah anak panah dari belakang yang melesat dan tertancap di tanah di dekat kaki gadis itu. Untungnya anak panah itu hanya merobek kain yang melekat pada pergelangan tangan kanan gadis itu.

“Kita bertemu lagi, Rei,” ucap gadis itu pada seseorang yang baru melesatkan anak panah itu. Orang itu berdiri tegak di atas pagar rumah mewah itu. Orang yang dipanggil Rei berdiri seolah ia tak memiliki berat badan karena dengan anggun dan perlahan ia turun dari pagar itu.

Penampilan Rei sangat berbeda dengan gadis itu. Rei mengenakan pakaian berwarna putih tulang, warna matanya biru langit dan ia membawa busur panah serta tabung tempat anak panah di punggungnya. Rambut pirang tumbuh sepanjang bahunya. “Berapa kali aku harus mengatakan padamu, Robin?”

Gadis itu ternyata bernama Robin. Robin berbalik dan sekarang ia berhadapan dengan Rei. “Kenapa kau selalu menghalangiku untuk bersenang-senang?” tanya Robin dengan nada sedingin es. Tapi karena Rei sudah terbiasa dengan gaya bicara Robin, ia biasa saja mendengarnya.

“Itu adalah tugasku untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh karena ulahmu dan teman-temanmu,” jawab Rei dengan santai.

“Sudah berulang kali kau berusaha menghentikanku dan itu selalu gagal bukan?” kata Robin dengan nada meremehkan Rei.

“Aku tak akan pernah menyerah, Robin. Semua ini hanya soal waktu. Dan karena ini perintah langsung dari atasan, maka kali ini aku harus dapat mencegahmu,” balas Rei lalu ia segera mengambil anak panah dan bersiap untuk memanah Robin.

Robin yang merasa dirinya seperti direndahkan, mengangkat pedang itu sejajar dengan wajahnya. Tangan kanannya menepikan rambutnya yang berada di wajahnya. Suara gemerincing terdengar dari pergelangan tangan kanan Robin.

“Pakaianku robek gara-gara kau, Rei. Aku maafkan kau soal masalah pakaian ini, tapi jika kau merendahkan diriku, itu tidak akan aku maafkan,” ucap Robin dingin. Rei melepaskan anak panahnya dan dengan mudah dapat Robin tangkis dengan pedangnya.

Rei meletakan busur dan tabung panahnya ke tanah. Lalu ada seekor burung hantu seputih salju mendekat dan seketika itu juga berubah menjadi sebilah pedang berwarna putih. Rei menggenggam pedang itu di tangan kanannya.

Mereka berdua terdiam. Robin menutup matanya dan merasakan angin yang berhembus lembut. Rei merasa aneh dengan sikap Robin yang berbeda. “Sepertinya kau benar-benar serius. Sampai menggunakan Lin.”

Rei memanfaatkan kesempatan saat Robin menutup matanya untuk menyerangnya. Rei segera mengarahkan pedangnya pada Robin. Sebelum ujung pedang itu melukai Robin, tanpa membuka matanya Robin menangkis dengan pedangnya lalu melompat mundur.
“Kenapa gaya bertarungmu berbeda?” tanya Rei yang mulai menyerang Robin kembali dengan semakin cepat.

Robin masih menutup kedua matanya dan menangkis serangan Rei. Sampai pada akhirnya Rei kelelahan karena tenaganya sudah hampir habis.

Dengan perlahan, Robin membuka kedua matanya. Ia mendapati bahwa Rei sudah berkeringat karena kelelahan. Senyum menghiasi wajah Robin. Tidak, bukan senyum, lebih tepatnya seringai yang cukup mengerikan.

“Sayangnya keinginanku untuk membunuh sudah hilang. Anggaplah kau telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh atasanmu itu dengan baik,” kata Robin yang lalu menghilang dalam kegelapan malam. Menghilangnya Robin tepat saat waktu menunjukan pukul 24:00.

Rei merasa kesal karena tidak satu pun serangannya dapat melukai Robin. Jadi ia langsung kembali ke markas Light Organization Namun tanpa sepengetahuan Rei, ternyata satu dari sekian serangannya telah melukai perut kiri bawah Robin.
----****----
[berlanjut ke Dark and Light ( II )]